Prof. Dr. Ir Sedyatmo
Insinyur Cerdik yang Inovatif
Sedyatmo dilahirkan di desa Karangpandan, Jawa Tengah Ahad Kliwon tanggal 24 Oktober 1909 sebagai putra ketiga Raden Mas Panji Hatmo Hudoyo (cucu Mangkunegoro III-Surakarta) dengan R. Ayu. Sarsani Mangunkusumo. Sedyatmo memiliki nama kecil Raden Mas Sarwanto. Saat berusia beberapa bulan, ia sakit cukup lama yang membuatnya harus mengganti nama. Orang tuanya kemudian memberikan nama baru R.M Sedyatmo. Nama Sedyatmo diambil dari kata Sedia dan Atmo yang artinya sedia, sanggup atau mau dan Atmo yang artinya anak. Melalui nama baru ini, kedua orang tuanya mengharapkan Sedyatmo kelak menjadi anak yang baik dan berguna bagi masyarakat, bangsa dan negaranya. Sebuah do’a yang beberapa tahun kemudian terwujud nyata.
SEDYATMO DAN PENDIDIKAN
Sedyatmo menempuh pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), pendidikan setingkat SMP di Surakarta. Selama belajar di MULO, ia bergabung dengan kelompok kepanduan (sekarang pramuka). Di kepanduan ia mendapatkan latihan jasmani dan rohani termasuk pembinaan watak, keterampilan, kemanusiaan, kemasyarakatan dan hal penting lain yang kemudian ikut membentuk watak dan kepribadiannya. Berbekal kemampuan bermain gitar yang mengesankan, ia juga kemudian bergabung dengan kelompok musik.
Ketertarikannya pada dunia seni tidak terjadi begitu saja. Sejak kecil ia sangat menyukai karya-karya seni tradisional terutama Gending Jawa dan Wayang. Bima dan Gatotkaca adalah tokoh idolanya. Dari kedua tokoh hebat tersebut, Sedyatmo memupuk sifat keberanian, kegigihan, semangat perjuangan, ketabahan, kesediaan berkorban, pengabdian, cita–cita, kecintaan kepada bangsa dan tanah air serta keimanan kepada Tuhan.
Setelah menamatkan pendidikan di MULO, ia melanjutkan pendidikan di Algemene Middel-bare School (AMS), pendidikan setingkat SMA di Yogyakarta. Saat menempuh pendidikan di AMS ia sering menjadi juara di arena olahraga. Namun ia tidak selalu sukses mendapatkan hal yang diinginkannya. Pada tahun 1930 saat Pemerintah Belanda mengumumkan pemberian beasiswa kepada pelajar–pelajar Indonesia untuk belajar di Technishe Hogeschool de Bandoeng (THS) ia gagal. Meskipun telah belajar ekstra keras ia tak lolos seleksi.
Ditengah keputusasaan atas kegagalan lolos seleksi ini, rupanya nasib baik masih berpihak kepadanya. Tanpa sepengetahuannya, seorang guru yang pernah beradu pendapat dengannya dan mengatakan bahwa bumi itu bulat memberikan jaminan kepada rektor THS bahwa Sedyatmo sesungguhnya mampu meskipun nilai rata-ratanya rendah. Pernyataan dan jaminan dari seorang guru AMS Yogyakarta inilah yang kemudian mengantarnya masuk THS yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). Sedyatmo masuk di THS bersama dengan Abdul Mutholib Danuningrat, putra Bupati Purworejo, Danunegoro.
Saat ditingkat II Sedyatmo berteman dengan Goenarso yang masuk lebih awal. Hubungan keduanya sangat akrab baik dalam perkuliahan maupun diluar sekolah. Tak hanya akrab dengan Goenarso, hubungan dengan para mahasiswa Indonesia lainnya juga sangat akrab. Disamping belajar, mereka juga kerap terlibat pembicaraan politik termasuk membahas nasib bangsanya, Indonesia.
Pada tahun 1932 sejumlah mahasiswa berhasil meraih gelar insinyur, salah satunya Roosseno. Sayangnya di tahun tersebut pula, nampak ada perlakukan yang berbeda antara mahasiswa Indonesia dengan mahasiswa Belanda. Para Insinyur Indonesia kesulitan mendapatkan pekerjaan yang membuat mereka akhirnya berupaya menciptakan lapangan pekerjaan sendiri seperti biro bangunan, mendirikan sekolah, bekerja di kantor pamong praja dan lainnya.
Setelah empat tahun menempuh pendidikan, Sedyatmo meraih gelar Insinyur pada tahun 1934. Setelah lulus Sedyatmo memilih kembali ke Mangkunegaran dan bekerja sebagai insinyur perencanaan di berbagai instansi pemerintahan. Dalam bekerja ia dikenal gigih dan punya disiplin yang tinggi. la juga kaya akan gagasan-gagasan inovatif. Lantaran etos kerjanya yang tinggi serta dikenal banyak akalnya, Sedyatmo mendapat julukan “si Kancil”. Dalam perjalanan karir dan pengabdiannya sebagai Insinyur, bangsa Indonesia kemudian mencatat kegemilangan karyanya melalui Konstruksi Cakar Ayam yang digagasnya pada tahun 1962.
Senat ITB, almamaternya kemudian juga menganugerahinya gelar Doctor Honoris Causa dalam llmu pengetahuan Teknik atas jasa-jasanya sebagai insinyur. Dengan promotor Prof. Ir. Soetedjo, gelar tersebut disematkan pada Lustrum ketiga (Dies Natalis ke-15) ITB, tanggal 2 Maret 1974.
Sedyatmo menikah pada tahun 1942 dengan Raden Ajeng Hoesniah Pardani, putri sulung Mangkunagoro VII. Dari pernikahan tersebut ia dikarunia beberapa orang putri yaitu : Pardiatni Hoesneiniah Riantini, Latifah Amiati, Amini, Tedjaswati, Krisnawati. Putra terbaik Karangpandan, peraih Bintang Mahaputra Kelas I dari Pemerintah Indonesia ini berpulang di Jakarta pada 15 Juli 1984. Untuk mengenang jasa dan pengabdiannya, Pemerintah mengabadikan namanya sebagai nama jalan bebas hambatan menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Sistem Pondasi Cakar Ayam Yang Mendunia
Sedyatmo adalah pencetus gagasan sistem pondasi konstruksi Cakar Ayam banyak diaplikasikan sebagai solusi pondasi di lahan lunak. Konstruksi Cakar Ayam diperkenalkan Sedyatmo di tahun 1962 dan telah dipatenkan secara nasional maupun internasional. Sistem pondasi cakar ayam ini juga telah dikenal dibanyak negara, bahkan telah mendapat pengakuan paten internasional di 11 (sebelas) negara, yaitu : Indonesia, Jerman Timur, Inggris, Perancis, Italia, Belgia, Kanada, Amerika Serikat, Jerman Barat, Belanda dan Denmark. Pondasi cakar ayam tersusun dari plat beton bertulang tipis yang didukung buis-buis beton bertulang yang dipasang vertikal dan disatukan secara monolit dengan plat beton pada jarak 200-250cm. Tebal plat beton berkisar antara 10-20cm, sedang pipa buis beton bertulang berdiameter 120cm dengan ketebalan berkisar 8cm dan panjang 150-250cm. Buis-buis beton ini gunanya untuk pengaku pelat. Dalam mendukung beban bangunan, pelat buis beton dan tanah yang terkurung di dalam pondasi bekerja sama sehingga menciptakan suatu sistem komposit yang di dalam cara bekerjanya secara keseluruhan identik dengan pondasi rakit raft foundation.
Mekanismenya dalam memikul beban dijelaskan sebagai berikut : bila diatas pelat bekerja beban titik, maka beban tersebut membuat pelat melendut. Lendutan ini menyebabkan buis-buis cakar ayam berotasi. Hasil pengamatan pada model menunjukkan rotasi cakar terbesar adalah pada cakar yang terletak di dekat beban. Rotasi cakar memobilisasi tekanan tanah lateral di belakang cakar-ayam dan merupakan momen yang melawan lendutan pelat. Dengan demikian, cara mengurangi lendutan pelat, semakin besar momen lawan cakar untuk melawan lendutan maka semakin besar reduksi lendutan. Momen lawan cakar dipengaruhi oleh dimensi cakar dan kondisi kepadatan (kuat geser) tanah disekitar cakar, yaitu semakin panjang (dan juga lebar) cakar, maka semakin besar momen lawan terhadap lendutan pelat yang dapat diperoleh.
Banyak bangunan yang telah menggunakan sistem ini di antaranya : ratusan menara PLN tegangan tinggi, hangar pesawat terbang dengan bentangan 64m di Jakarta dan Surabaya, antara runway dan taxi way serta apron Bandara Sukarno-Hatta Jakarta, jalan akses Pluit- Cengkareng, pabrik pupuk di Surabaya, kolam renang dan tribune di Samarinda serta ratusan bangunan gedung bertingkat di berbagai kota di Indonesia.
Solusi pondasi di tanah labil dan lunak
Lahirnya ide kreatif teknik cakar ayam berawal dari kesulitan tenaga pelaksana konstruksi menghadapi tanah lunak. Membuat pondasi di lahan lunak memang sulit dilakukan. Hal tersebut juga dialami Sedyatmo ditahun 1962, saat ia menjadi pejabat di PLN ditugaskan memimpin proyek pembangunan tujuh (7) menara listrik tegangan tinggi di daerah rawa-rawa di kawasan Ancol, Jakarta.
Saat itu, para tenaga ahli dan pelaksana proyek yang ditugaskan bersamanya mengalami banyak kesulitan untuk melaksanakan pembangunan menara listrik tegangan tinggi tersebut. Setelah bekerja keras dengan mengerahkan segala kemampuan mereka hanya berhasil membangun dua (2) menara. Meskipun telah mengerahkan segala cara mereka akhirnya mengalami jalan buntu untuk menyelesaikan lima (5) menara lainnya mengingat kelabilan lahan yang merupakan daerah rawa-rawa. Disisi lain proses konstruksi dua (2) menara sebelumnya yang dibangun dengan sistem pondasi konvensional telah benar-benar menguras tenaga, biaya dan waktu konstruksi yang lama.
Tingkat ketegangan tim semakin memuncak meningat keberadaaan menara-menara listrik tersebut sangat diperlukan sebagai sarana penyaluran aliran listrik dari pusat tenaga listrik di Tanjung Priok ke Gelanggang Olah Raga Senayan yang saat itu akan dijadikan tempat penyelenggaraan pesta olah raga Asian Games tahun 1962.
Dalam situasi genting tersebutlah Sedyatmo melahirkan ide pondasi sebagai cakar ayam. Melalui konsep ini menara dibangun di atas pondasi yang terdiri dari plat beton yang didukung pipa-pipa beton di bawahnya. Pipa dan plat yang melekat, menyatu dan mencengkeram dengan sangat kuat ditanah lembek mirip cara kerja cakar ayam ini terbukti mampu mengatasi masalah yang dihadapai timnya sehingga tugas berat tersebut dapat diselesaikan tepat waktu. Lima menara berdiri kokoh, kuat dan tepat waktu.
Penemuan sistem pondasi Cakar Ayam kemudian terbukti tidak hanya mengatasi kebuntuan pembangunan menara listrik PLN saat itu, tapi menjadi solusi atas kendala pembangunan diatas lahan lembek yang labil diberbagai kondisi. Sistem ini juga terbukti cocok digunakan untuk konstruksi bangunan, gedung, jalan bahkan landasan pesawat terbang. Keunggulan lainnya terbukti bahwa teknik cakar ayam ini tidak memerlukan sistem drainase dan sambungan kembang susut.
Pengujian dan Modifikasi Teknik Cakar Ayam
Penemuan teknologi Cakar Ayam Sedyatmo menarik perhatian sejumlah ahli konstruksi Indonesia. Sutrisno ditahun 1982, misalnya menguji Cakar Ayam menggunakan pendekatan analitik (2-D) dengan mengekuivalenkan kekuatan perkerasan Cakar Ayam dengan sistem slab konvensional. Dari pengujian ini terbukti bahwa teknologi Cakar Ayam memiliki kekuatan lima kali dibandingkan slab konvensional. Demikian juga pengujian-pengujian yang dilakukan Suraatmadja di tahun 1982, Sosrowinarso, 1982 dan Chen-Lima-Salle, 1982 yang menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda yaitu bahwa pipa-pipa cakar ayam pada kekuatan slab memang memiliki pengaruh yang signifikan.
Pengujian sistem Cakar Ayam langsung dilapangan dengan skala penuh juga pernah dilakukan secara marathon oleh Antono dan Daruslan, 1979 di apron PUAL Juanda-Surabaya, di Pelud Polonia Medan, 1981 serta oleh Aeroport de Paris 1983 di runway Bandara Soekarno-Hatta.
Dalam pengujian yang dilakukan Hardiyatmo dan kawan-kawan di tahun 1999 dengan pendekatan model fisik di laboratorium juga diperoleh kesimpulan tentang perilaku pondasi Cakar Ayam yang hasilnya telah dituangkan ke dalam usulan-usulan formula analitik yang secara praktis dapat memberikan kontribusi nyata dalam tahap perancangan pendahuluan Cakar Ayam.
Setelah dikenal luas dan banyak dipakai dalam berbagai proyek pembangunan infrastruktur dan setelah melalui berbagai modifikasi serta verifikasi, Suhendro, 1996, menemukan permodelan elemen hingga memadai dari sistem perkerasan Cakar Ayam. Penyempurnaan atau lebih tepatnya modifikasi teknik Cakar Ayam kemudian dilakukan pada beberapa aspek, yakni:
- penggantian slab stiffener pipa beton dengan pipa baja galvanis yang 700% lebih ringan,
- penempatan slab pada posisi tanah asli (tidak di atas timbunan), dan
- pengembangan dan penggunaan material timbunan ringan (berat volumenya 1/3 berat timbunan konvensional) yang ditempatkan di atas slab.
Teknik Cakar Ayam modifikasi tersebut memiliki bearing capacity yang tinggi, deteksi slab yang kecil, berperilaku elastic-linier dalam merespons beban sampai intensitasnya mencapai 4-6 kali single wheel load rencana, tidak sensitive terhadap pengaruh repetisi beban dan apabila dipadukan dengan “bahan timbunan ringan”akan menjadi salah satu alternatif solusi yang sangat menjanjikan bagi permasalahan pembuatan jalan di atas tanah lunak.
Teknik Cakar Ayam modifikasi ini telah diaplikasikan untuk pertama kali pada bulan Agustus 2005 sebagai perkerasan detoar di jalan Sedyatmo. Modifikasi teknik Cakar Ayam ini diyakini dapat memperbaiki kinerja “Cakar Ayam asli (pada awal ditemukan)”baik ditinjau dari aspek teknis, ekonomis, kemudahan, kecepatan waktu pelaksanaannya, aspek perawatan dan serviceability system-nya, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Si Kancil Yang Tak Pernah Kehabisan Akal
Bukti kepakaran Sedyatmo tidak berhenti sampai disitu. Berkat keahliannya ia dipercaya menjadi co-designer pada proyek pembangunan bendungan Jatiluhur bersama konsultan Perancis Coyne et Sellier. Sentuhan tangan dinginnya juga dapat dilihat pada pengembangan wilayah sungai Citarum. Sedyatmo adalah orang yang merencanakan pemasangan 17 pompa hidraulik yang mampu mengalirkan air sungai Citarum dan sungai-sungai lain yang dilalui melalui saluran penghubung sepanjang sekitar 80km hingga ke sungai Ciliwung.
Untuk mewujudkan rencananya ia berhasil memodifikasi rencana pompa hidraulik yang dasarnya merupakan tesis untuk gelar Doktor Ir., Van Blommestein (kelak ia bergelar Prof., Doktor). Pompa yang dalam pengoperasiannya tidak menggunakan BBM atau daya listrik. Listrik tersebut menyediakan air irigasi untuk sawah seluas kira-kira 80.000 ha melalui jaringanjaringan irigasi yang komprehensif. Kawasan ini tercatat sebagai areal pertanian yang mungkin paling luas di dunia yang dialiri air irigasi melalui pompa hidraulik. Disamping itu saluran tersebut juga mengalirkan air baku untuk air minum Kota Jakarta.
Prestasi lainnya, Sedyatmo tercatat sebagai perencana utama beberapa proyek PLTA antara lain : Proyek PLTA Ngebel (daerah Madiun) serta Proyek PLTA di Rawa Pening yang dibangun untuk menyuplai listrik terutama untuk Kota Semarang.
Diluar karya-karya monumental yang dikenal luas secara nasional maupun internasional, Sedyatmo sejatinya telah menunjukkan bakat besar sebagai inovator dan insinyur yang concern pada pembangunan berbagai infrastruktur yang memberikan manfaat langsung masyarakat. Berikut beberapa karyanya yang boleh jadi telah berperan besar mengasah dan membentuk kemampuannya menjadi semakin mumpuni.
Pada tahun 1936, dua tahun setelah memperoleh gelar insinyur, Sedyatmo mendapat tugas dari Mangkunegaran VII (memerintah pada tahun 1916–1944) untuk membangun sebuah jembatan air di desa Wiroko daerah Wonogiri.
Jembatan air tersebut adalah jembatan untuk menyalurkan air dari satu tempat ke tempat yang lain melintasi sungai. Waktu itu Wiroko merupakan desa yang sulit dicapai, jalannya belum diaspal, lahannya belum tergarap bahkan masih terdapat banyak ular berbisa. Mangkunegoro VII menyerahkan pembangunan jembatan tersebut kepada Sedyatmo. Satu hal yang menjadi perhatian Sedyatmo adalah bagaimana merancang dan membangun jembatan yang hemat bahan, biaya dan waktu tapi dengan mutu setinggi-tingginya serta manfaat sebesar–besarnya khususnya bagi petani di desa Wiroko. Tepat di tahun 1937, bangunan jembatan air Wiroko selesai dengan baik. Peresmiannya dilakukan Mangkunegoro VII. Sebelum diresmikan Sedyatmo mencoba sendiri kekuatan jembatan yang dibuatnya.
Keberhasilan pembangunan jembatan ini diharapkan dapat menginspirasi, memberi pengaruh serta mengugah insinyur-insinyur lainnya untuk melakukan hal yang sama. Namun dengan berbagai keterbatasan pada saat itu tak ada cara untuk menginformasikan hal tersebut secara langsung kepada masyarakat luas, terkecuali melalui bantuan media. Satu-satunya media yang pas yang ada pada masa itu adalah majalah De Ingenieur in Nederlansch Indie, satu–satunya majalah yang dibaca oleh kalangan insinyur yang dikelola para insinyur Belanda. Sayangnya, sikap insinyur Belanda yang mengelola majalah tersebut tidak berbeda dengan para insinyur lain yang menentang konstruksi pembangunan Jembatan Wiroko.
Namun Sedyatmo tidak mundur begitu saja, dia terus berusaha supaya hasil karya pertamanya tersebut dapat dimuat dimajalah De Ingenieur in Nederlansch Indie. Sedyatmo kemudian berinisiatif mengirimkan surat kepada pimpinan redaksi yang bernama Prof., Ir. Bijlaard, seorang guru besar yang dikagumi Sedyatmo. Salah satu usaha yang ditempuhnya agar hasil karyanya dapat di publikasikan dimajalah De Ingenieur in Nederlansch Indie adalah dengan menuliskan surat pengantar yang dimulai dengan ungkapan dan pengakuan kekagumannya atas kehebatan Prof., Ir. Bijlaard.
Lebih lanjut ia juga menjelaskan bahwa sebagai bekas mahasiswanya, ia meneladani dan mengikuti jejak sang professor sebagai seorang Pencipta. Pada bagian akhir, barulah dia meminta agar tulisan atas hasil karyanya dapat dimuat di majalah De Ingenieur in Nederlansch Indie. Tulisan tersebut juga dilengkapi penjelasan mengenai rumus konstruksi yang digunakan serta pencantuman foto jembatan yang dibawahnya menuliskan kalimat yang sama dengan kalimat yang ditulis oleh Prof., Ir. Bijlaard dibawah foto jembatan kali Progo. Kalimat tersebut berbunyi “Sistem Jembatan ini belum diketahui dan belum pernah dibuat sebelumnya”. Melalui cara ini meskipun banyak pertentangan dalam dewan redaksi, karena umumnya para insinyur Belanda tidak ingin tersaingi oleh insinyur Indonesia, Prof., Ir. Bijlaard memperjuangkan dengan gigih dan teguh sehingga akhirnya tulisan yang memuat karya Sedyatmo tentang Jembatan Wiroko dapat terbit dalam Majalah tersebut.
Sebagai tanda penghargaan Prof., Ir. Bijlaard kemudian berusaha memberikan pekerjaan yang lebih kepada Sedyatmo. Beberapa waktu kemudian Sedyatmo keluar dari Mangkunegaran dan diangkat sebagai pegawai.
Pada tahun 1945 Sedyatmo bertugas di Kementrian Perhubungan dibawah Pimpinan Ir. Juanda. Saat itu Sedyatmo berupaya menumbuhkan sarana angkutan jalan raya bagi rakyat. Untuk mewujudkan hal tersebut dibentuklah Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia (DAMRI). Sesudah itu oleh Ir. Juanda, ia dipindahkan ke bidang lain yang erat sekali hubungannya dengan keahlian yang dimilikinya yaitu menjadi asisten Prof., Dr., Ir. W.J Van Blommestein untuk mempersiapkan proyek serbaguna Jatiluhur di Jawa Barat.
Sedyatmo pada masa itu adalah satu–satunya insinyur dibidang tenaga air di Indonesia yang memiliki begitu banyak sungai, danau dan lautan. Ditengah kondisi tersebut ia menyadari dan merasa wajib turun tangan melahirkan sebanyak-banyaknya insinyur dibidang tenaga air. Kesadaran tersebutlah yang kemudian memanggilnya untuk menjadi dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) disamping menjalankan tugasnya di Departemen Pekerjaan Umum.
Sebagai dosen, Sedyatmo sangat disenangi para mahasiswanya selain karena kepribadiannya yang menarik juga karena kemampuan mengajarnya yang mudah dipahami. Ia juga dikenal karena pakaiannya yang selalu rapi, serasi, dan sederhana, serta cara jalan dan bicaranya yang tenang. Sebagai seorang yang ahli di lapangan, Sedyatmo lebih banyak menyuguhkan hal-hal praktis yang terjadi dilapangan dibandingkan menyampaikan teori. Ia juga sering mengajak mahasiswanya turun ke lapangan khususnya di proyek– proyek yang sedang ditanganinya.
Sedyatmo juga tak pernah bosan mengingatkan mahasiswanya agar menjadi insinyur yang mencintai ilmunya, senang mencipta dan tidak hanya bisa meniru penemuan orang lain. Ia pun tak lupa menekankan pentingnya pembangunan banyak bendungan serbaguna yang bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Beberapa mahasiswanya yang kemudian berhasil dan dikenal luas diantaranya Prof., Ir. Suryono (ITB) dan Ir. Riyanto (Fakultas Teknik UGM).
Pada tahun 1950-an, Sedyatmo berhasil membangun bendungan yang tidak hanya kuat tetapi juga indah bentuknya. Sebuah bendungan serba lengkung yang terbuat dari beton ini terdapat di Ngebel Jawa Timur. Untuk memperoleh tekanan air yang kuat, bendungan ini dibangun dilereng gunung. Bendungan Ngebel yang serba lengkung ini memiliki tekanan 24 atmosfer, dan tercatat mempunyai tekanan tertinggi diseluruh dunia, atau hingga tiga kali lipat dibandingkan yang ada saat itu. Sebelum bendungan ini, bendungan yang memiliki tekanan air tertinggi adalah Soap Lake Aquaduct dengan dinding setebal 35cm, sedangkan bendungan Ngebel memiliki tebal dinding hanya 15cm.
Pada tahun 1954, Sedyatmo untuk kali pertama dalam sejarah hidupnya mendapat paten diluar negeri untuk penemuan barunya : Pipa Pesat Sistem Indonesia, pipa dari beton bertulang khusus, untuk pusat listrik tenaga air dengan kekuatan melebihi 10 atmosfer atau tekanan air 100m. Pipa pesat sistem Indonesia ini pertama kalinya dipasang di Bendungan Golang dan telah dipatenkan di lima (5) negara diantaranya : Swiss, Perancis, Inggris, Jerman Barat dan Kanada.
Pada tahun 1962, Sedyatmo dikenal luas sebagai penemu “Pondasi Cakar Ayam“. Keunggulan sistem ini telah mendapat pengakuan international serta mendapatkan hak paten dari 11 negara. Penemuan yang dapat diterapkan dalam kondisi alam yang sulit dengan sistem pengerjaan yang sederhana, cepat, padat karya dan murah ini membuktikan bahwa dalam melahirkan karyakarya inovatif Sedyatmo senantiasa mengedepankan intuisi dan pengamatan yang cermat pada alam sekitar.
Pada tahun 1978 temuan Sedyatmo digunakan dalam pembuatan Apron Pelabuhan Udara Angkatan Laut Juanda, Surabaya dan landasan bandara Polonia, Medan.Karena kemampuannya menahan beban pada kawasan pantai dan rawa-rawa, kontruksi Cakar Ayam dapat digunakan pada landasan pacu, Taxy way dan Apron di Bandar udara Soekarno-Hatta, Jakarta. Hingga saat ini penemuan Sedyatmo itu banyak di terapkan di sejumlah Bendungan, Jembatan, Gedung bertingkat, jalan tol dan menara.
Selain penemuan–penemuan hebat tersebut, Sedyatmo juga punya peran besar dalam pembangunan Bendungan Karangkates, Jawa Timur, Pompa air Hidrolik di Bendungan Jatiluhur. Ia pun masih punya impian yang belum sempat terwujud yaitu, Jembatan Bahari Ontoseno, yang diungkapan pada tahun 1969, yaitu jembatan yang menghubungkan pulau-pulau Sumatera, Jawa dan Bali (panjang 30km. lebar 12 m.) dengan sistem pondasi “cakar laut” yaitu pondasi dari logam anticorodal, cakar ayam yang berisikan air laut.
Proyek Tri Nusa Bima Sakti
Pemikiran besar lainnya Prof. Ir. Sedyatmo (alm), pada tahun 1960-an disampaikan ide Tri Nusa Bima Sakti yaitu membuat hubungan langsung antara pulau Sumatera, Jawa, dan Bali dengan metode Jembatan Bahari Ontoseno. Ide yang tergolong berani pada kondisi Indonesia zaman itu, mendapat respon positif dari pemerintahan Presiden Soekarno. Pada 1965 uji coba desain jembatan Sumatera-Jawa (Jembatan Selat Sunda) dibuat di ITB. Hasil dari percobaan tersebut akhirnya dapat disampaikan ke meja Presiden RI Soeharto pada awal Juni 1986.
Pemerintah lalu mencanangkan Proyek Tri Nusa Bima Sakti, suatu mega proyek yang berusaha menghubungkan pulau Sumatera-Jawa-Bali dalam satu jalur darat utama. Presiden Soeharto menunjuk Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) BJ Habibie untuk menangani proyek ini. Jembatan penghubung antar pulau Sumatera, Jawa, dan Bali tersebut direncanakan akan menjadi bagian dari proyek Asian Highway Network (Trans Asia Highway dan Trans Asia Railway). Namun mega proyek ini ternyata mendapat banyak hambatan, terutama finansial. Sampai saat ini baru proyek jembatan Suramadu saja yang sudah terealisasi dan direncanakan menghabiskan anggaran sebesar Rp3,27 trilliun.
Pada pertengahan 1990-an, kembali pra-studi kelayakan (pre-feasibility study) JSS dilakukan oleh Prof Dr Ir Wiratman Wangsadinata dan Dr. Ir. Jodi Firmansyah. Studi tersebut mengestimasi proyek ini akan menyedot dana sekitar Rp25 triliun dengan masa konstruksi 10 tahun. Waktu itu sudah direncanakan jalan akan terdiri dari enam jalur (dua arah) dan trek ganda kereta api. Selain itu juga akan dibuat sarana peristirahatan dana sarana penunjang lainnya. Ternyata hantaman krisis ekonomi tahun 1998 membuat rencana tersebut menjadi di luar jangkauan kemampuan pemerintah Indonesia. Proyek ini akhirnya kandas di tengah jalan.
Proyek ini terus dicoba direalisasikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan menggandeng pihak konsorsium swasta. Dengan revisi Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005, maka dibentuk kembali kelompok studi kelayakan (feasibility study) yang terdiri dari soal teknis, tata ruang, dan keekonomian, serta sosial. Prastudi kelayakan Jembatan Selat Sunda ini melibatkan Provinsi Banten, Lampung dan 10 provinsi lainnya di Sumatera serta Pemerintah Pusat, disampaikan dalam suatu acara khusus pada tanggal 13 Agustus 2009. Pada 2011, terbit Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda.
Proses merealisasikan gagasan Prof. Ir. Sedyatmo (Alm.) masih harus melalui jalan yang sangat panjang dan penuh kontroversi yang mendukung dan menolak. Termasuk pula untuk Jembatan Selat Bali, menghubungkan antara Pulau Jawa dengan Pulau Bali yang belum terlaksana karena Pemerintahan Daerah Provinsi Bali belum bersedia. Jika proyek Jembatan Selat Sunda (JSS) ini jadi terbangun, maka akan menjadi salah satu jembatan terpanjang di dunia dan pastinya menjadi jembatan terpanjang di Asia Tenggara.
- +Prof. Dr. Ir. R. SEDYATMO
Karangpandan, 24 Oktober 1909.
KARIR
- 1934-1935 : Direktur Sekolah MULO Arjuna, Solo
- 1935-1939 : Insinyur Perencanaan dan Pembangunan Pekerjaan Umum, Mangkunegara, Solo
- 1939-1942 : Pegawai Departemen Perhubungan dan Pengairan (Departement van Verkeer en Waterstaat ), Bandung
- 1942-1945 : Jawatan Listrik (Denki Kaisha ), Bandung & Jakarta
- 1945-1950 : Departemen Perhubungan, Jakarta
- 1950 : Profesor dan Guru Besar Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada .
- 1950-1960 : Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, ditempatkan sebagai Kepala Direksi Konstruksi /Dinas Perencanaan dan Pembangunan PLN (Perusahaan Listrik Negara)
- 1960-1964 : Direktur PLN
- 1964-1976 : Pegawai Tinggi Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik.
KARYA /TEMUAN
- Pelopor perencanaan dan pembangunan waduk sekaligus pembangkit listrik (PLTA)
- Jatiluhur , Jawa Barat
- Ngebel, Jawa Timur
- Karangkates , Jawa Timur
- Riam Kanan, Kalimantan Selatan
- Asahan , Sumatera Utara
- 1962 : Penemu sistem pondasi “Cakar Ayam ” untuk daerah tanah lunak (rawa); diterapkan pada :
- Apron Bandara AL Djuanda, Surabaya
- Landasan Bandara Polonia, Medan
- Apron Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng
- Jalan Tol Pluit – Bandara Soetta (sekarang dinamai Jalan Tol Prof. Dr. Ir. Sedyatmo
PENGHARGAAN
- 1974 : Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Teknik dari ITB
Video Conference
![]() |
1:1 Video Chat |
![]() |
Broadcast |
Agenda ALSI
Tokoh Sipil ITB & Indonesia
Ir. Bigman Marihat Hutapea, M.Sc., Ph.D.(Dosen Teknik Sipil ITB)
Jangan Sampai Praktisi Kita Jadi Penonton Di Rumah Sendiri! Empat…
Ir. I Wayan Sengara, MSCE, Ph.D. (Dosen Teknik Sipil ITB)
Halangan Bukan Alasan Untuk Menyerah! Adalah sosok-sosok…
Ir. Iwan Kridasantausa, M.Sc., Ph.D. (Dosen Teknik Sipil ITB)
Kenyataan bahwa teknik sipil akan terus berkembang di masa depan…